MUHARAM

MUHARRAM, BULAN SAKRAL?

Oleh : Sodikin Rusydi

Dalam tradisi jawa, hingga saat ini masih kuat mitos bahwa Muharram atau bulan Suro itu sebagai bulan yang sakral dan mistis. Hingga pada sebagian penganut filsafat Jawa melarang berbagai perhelatan penting semisal hajatan pernikahan, khitanan dan sebagainya diselenggarakan di bulan ini. Bagaimanakah pandangan Islam dan aspek historitas pemahaman tradisional itu?

Bulan Mulia

Dalam Al Qur’an tampak jelas bahwa Muharram adalah salah satu dari empat bulan yang dimuliakan (arba’atun hurum). Sebagaimana penjelasan dalam Al Qur’an: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah itu ada dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada saat Dia menciptakan langin dan bumi, di antaranya empat bulan haram (yang dimuliakan)“ (QS. At Taubah : 36).

Mufassir menyebutkan bahwa diantara empat bulan haram itu adalah bulan Muharram. Hal ini sangat jelas, dari segi redaksional kalimat saja Muharram berarti yang dimuliakan. Maka dalam perspektif Islam, Muharram adalah bulan mulia. Disebutkan dalam beberapa kitab tafsir, kemuliaan itu dapat dilihat dari berbagai kejadian luar biasa terjadi dibulan ini. Diantaranya, pertemuan Adam dan Hawa di Jabal Rahmah (Arafah), selamatnya Ibrahim dari hukuman permbakaran oleh Raja Namrud, selamatnya Musa dari kejaran Fir’aun setelah membelah laut Merah, selamatnya Nuh dan umatnya dengan perahu dari Tsunami besar, dan sebagainya.

Lalu, mengapa kemudian di kalangan sebagian Muslim di Jawa muncul anggapan bahwa Bulan Suro atau Muharram itu sebagai bulan sakral, wingit, angker, apes dan sebutan lain yang semakin membuat bulu kuduk merinding. Ternyata, pandangan itu muncul bukannya tanpa sebab. Tapi ada latar historis yang bisa dirunut. Konon, saat jaman Walisongo dulu, pernah muncul ajaran dari para Wali bahwa demi menghormati kemuliaan bulan muharram ini, perlu dihindari hal-hal yang berbau maksiat. Saat itu, nyaris setiap ada perhelatan hajatan, selalu diwarnai tampilan kesenian seperti ronggeng, tayub, dan aktifitas yang berbau maksiat semisal sabung ayam, judi totohan dan lain sebagainya. Maka, demi menghindari hal itu terjadi di Bulan Muharram, maka sebaiknya dihindari menyelenggarakan hajatan dan perhelatan besar di bulan ini. Tujuannya tidak lain semata untuk menghormati kemuliaan bulan ini dari aktifitas kemaksiatan. Bukan hajatannya yang dilarang.

Tampaknya, pelarangan menyelenggarakan perhelatan besar di bulan muharram ini berlanjut hingga sekarang, tanpa memahami makna kontekstual yang sebenarnya. Bagi umat Islam, Muharram bukan bulan apes, tapi justru bulan keselamatan, hal ini didukung oleh perinstiwa besar yang dialami para Nabi dan orang-orang sholeh.

Memang, dalam sejarah Umat Islam pernah terjadi tragedi kemanusiaan yang mengerikan dan memalukan di bulan Muharram ini. Tepatnya pada tanggal 10 Muharram. Kejadian tragis itu adalah perang Karballa. Saat itu, rombongan Husain bi Ali (cucu Nabi Muhammad) yang hendak menuju ke Kuffah Irak, dihadang pasukan tak dikenal dan kemudian dibantai habis-habisan. Hingga Cucu tercinta Nabi SAW, yakni Husain bin Ali dipenggal kepalanya dan kemudian kepalanya dijadikan mainan dan diarak keliling kota. Sungguh penghinaan keji terhadap keluarga Rasulullah SAW. Kejadian ini menjadi aib sejarah kaum Muslim dan menguatkan perpecahan umat hingga semakin mengentalnya Sekte Syi’ah. Oleh penganut Syi’ah, tragedi ini selalu diperingati dengan upacara pada setiap tanggal 10 Muharram yang dikenal dengan Asyura’.

Fakta sejarah itu harus kita pahami untuk kemudian memberikan pemahaman lanjutan pada kepercayaan sebagian masyarakat yang menganggap bulan Muharram sebagai bulan apes. Namun demikian, demi penguatan keimanan umat Islam, harus senantiasa kita ingatkan bahwa apes itu bagian dari takdir yang sepenuhnya berada dalam kekuasaan Allah SWT. Kita wajib mengimani bahwa takdir baik dan buruk menjadi kuasa Allah Ta’ala (al qadar khoirihi wa syarrihi minallahi ta’ala). Inilah komitmen ita terhadap rukun Iman keenam senantiasa diuji. Semoga kita semua dikuatkan oleh Allah untuk selalu menjaga eimanan kita, Amin. Selamat Tahun Baru Hijriyah 1439)

Bagikan :
Translate »
Scroll to Top